Disadur Sepenuhnya dari Bulettin At-Tadzkir Edisi 01.04.12
Diterbitkan oleh PAC IPNU-IPPNU Sukorambi.
Penyaduran ini melalui proses editing bahasa agar lebih mudah dipahami tanpa sedikitpun mengubah arti.
Khittah jika dilihat dari segi bahasa memunyai arti 'garis', ketika ditinjau dari segi definitif NU, adalah garis-garis yang sejak semula sudah menjadi pedoman kegiatan para ulama pendiri organisasi NU yang kemudian dirumuskan menjadi pedoma seterusnya. Hal tersebut berhasil dirumuskan secara konkret pada muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984.
NU adalah singkatan dari Nahdlatul Ulama yang me memunyai arti Kebangkitan Ulama. Nahdlatul Ulama adalah jamiyah diniyah ijtima;iyah (organisasi keagamaan kemasyarakatan) yang tiada lain tujuan utama dibentuknya adalah menjadi wadah perjuangan para ulama dan para pengikutnya. Kata ulama memang unsur pembentuk nama NU, tapi bukan berarti NU beranggotakan ulama saja. Penggunaan kata tersebut memiliki maksud bahwa ulama memunyai kedudukan istimewa di dalam tubuh NU. Karena para ulama tiada lain adalah pewaris dan mata rantai penyalur ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
"Kembali ke Khittah"
Kala kita membahas Nahdlatul Ulama menjadi suatu keharusan untuk melibatkan frasa "Kembali ke Khittah" karena memang ungkapan tersebu merupakan satu kesatuan dengan NU. Khittah adalah rumusan NU yang menjadi tolok ukur dan wejangan untuk melangkah, menjalankan organisasi.
Juga untuk menjalankan tradisi keagamaan yang telah tercipta oleh tradisi lama yang baik, yang telah dicetuskan oleh NU --baik NU jama'ah maupun NU jam'iyah.
Dilihat dari sisi historis dan argumentasi pendirian NU, sudah tentu bahwa NU adalah wadah perjuangan yag perlu dipahami oleh kita (Pelajar NU), mereka (sosial ideologis kulturan NU), dan utamanya beliau (para aktivis dan pengurus NU). Beliau adalah orang-orang dengan kemampuanleadership yang mumpuni yang dianugerahi amanah untuk memperjuangkan eksistensi dan mengembangkan NU, atau setidaknya mempertahankan rumusan-rumusan khittah NU. Yang menadi dasar dan diaplikasikan dalam dirinya dalam kehidupan masyarakat baik secara individual maupun kelembagaan dan organisasi.
Jama'ah NU (Sosial Kultural) tidak akan pernah punah selama ulama-ulama masih konsisten berpegang teguh pada ahlus sunnah waljamaah. namun, dari sisi lain, Jam'iyah NU akan mengelupas sedikit demi sedikit, jatuh berguguran dan terisolasi, bukan hanya di persimpangan jalan. Lebih parah dari itu, jika lembaga-lembaga yang ada dalam tubuh NU haya dijadikan ajang hura-hura. Ajang berebut posisi strategis demi tercapainya kepentingan-kepentingan pribadi. Dan hal terakhir ini ternyata yang sering muncul ke permukaan dan jadi tontonan masyarakat umum. Ironis sekali!
Jika hal tersebut dibaiarkan terus terjadi, bukan tidak mungkin NU jam'iyah lambat laun akan tinggal sejarah saja. Begitu juga dengan kebesaran NU, tinggal sejarah saja. Hanya tersisa NU jama'ah yang lambat laun digantikan oleh kelompok-kelompok baru yang bisa menghapus sejarah NU dan mengklaim bahwa ajaran Ahlussunah waljamaah serta rumusan Khittah adalah milik mereka (kelompok baru).
NU sebagai wadah perjuangan, tinggal wadahnya saja, perjuangannya dikerdilkan, dilindas, digiling dan diterbangkan bersama angin sepoi kepentinga yang disiratkan. Menjadi sangat mubadzir keberadaan wadah tersebut, tidak dimanfaatkan. Perjuangannya tinggal perjuangan meraup massa dalam kancah politik, dan kepentingan pertemuan ASUAJA (ASal Uangnya Ada hadir aJA), serta kepentingan relasi individu dengan mencatut nama NU.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama memunyai tugas besar untuk mempersiapkan diri diri untuk mengembalikan perjuang NU yang sudah dikerdilkan tadi. Untuk mengembalika butir-butir perjuangan yang sudah diterbangkan hilang oleh angin sepentingan ke wadah aslinya. Serta mencari puing-puing rumusan khittah untuk dikembalikan pada tempat singgasana NU.
Putra-Putri NU harus segera mengetahui rumusan-rumusan Khittah Nu. Adapun rumusan khittah NU seperti yang dipaparkan K.H. Abdul Muchith Muzadi (Mbah Muchit) dalam bukunya "NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran" berisi:
- Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
- Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan individu.
- Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dalam berkhidmat dan berjuang.
- Menjunjung tinggi persaudaraan (ukhuwah), persatuan (ittihad), serta kasih mengasihi (hubb).
- Meluhurkan kemuliaan moral (aklhaq karimah) dan menjunjung tinggi kejujuran (shiddiq) dalam berpikir, bersikap, dan bertindak.
- Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada agama, bangsa dan negara.
- Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
- Menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan ahli-ahlinya.
- Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang membawa manfaat dan kemaslahatan bagi manusia.
- Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu dan mempercepat perkembangan masyarakat.
- Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Rumusan tersebut perlu dipelajari sejak dini untuk dipadukan dengan khazanah keilmuan lain yang juga diajarkan oleh NU sepeerti Mabadi' Khoiru Ummah (Asshidqu, Al-wafau bil ahdi, at-taawun, al-'adalah, al-istiqomah) maka akan lebih sempurna perilaku kaum Nahdliyyin demi meninggakatkan kulitas sumber daya manusia NU.
Sebelas rumusan Khittah NU masih belum banyak terjamah dan diketahui secara utuh oleh kita (Pelajar NU), meraka (sosial kultural NU), dan beliau (Pengurus NU). Oleh sebab itu, merupakan suatu kewajara jika pelajar NU belum sempat mengenal Khittah NU secara Utuh karena memang jarang --bahkan tidak ada-- sekolah-sekolah NU (di bawah naungan LP Ma'arif atau pun yang tidak) yang memperkenalkannya.
Jangankan para pelajar NU, beliau (pengurus NU) saja masih banyak yang tidak paham akan rumusan Khittah NU yang sebenarnya. Bukti konkret bahwa beliau belum mengenal Khittah NU scara utuh adalah pengamalan rumusan Khittah poin kedua yang sangat jarang (bahkan tidak pernah) diketahui. Ditambah lagi pemupukan ideologi poin kesepulung pada pelajar NU yang diusahakn oleh IPNU-IPPNU justru sulit ditemukan di kalangan NU, sehingga para pelajar kesulitan mencari contoh yang bisa dijadikan cerminan.
Masak kita mau mandiri sejak kita lahir??
Pertanyaan ini tak sepantasnya ada, tapi mau tidak mau ketika pelajar NU kebingunan, maka tetap pada seorang ayah dia akan mengadu, mengeluh dan meminta. Karena pada hakikatnya, pelajar NU masih belum bisa melagkah jauh tanpa bimbingan arahan, dan motivasi para beliau pengurus NU. Semoga bapak kita (MWC NU) segera sembuh dari stroke-nya, karena jika selamanya dalam kondisi stroke (stagnan: tak ada perhatian), wujuduhu kaadamihi: adanya mereka seperti tak adanya mereka.
Penyadur: M Nasiruddin TJ
Zulkifli Nurdin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar